APAKAH berjalan bersama seseorang yang selalu ingin begini dan ingin begitu itu membosankan? Tidak, bahkan tidak sama sekali.
Menantang hidup. Katanya, melawan arus. Ya, Tepat. Aku Setuju.
Begini,
Hidup sebagai pemikir itu terkadang dibilang sok pintar, sok bijak, atau bahkan sok berani. Selalu menanyakan, Apa kau berani menghadapi kerasnya dunia? Dunia tak kan keras jika kita memeluknya.
Di tanah rantau, kaki berjalan kemana pun tak ada masalah selagi langkah itu milik sang pemikir.
Contohnya,
Aku berkali-kali datang ke Kota Tua Jakarta atau kota Batavia. Bersama orang yang berbeda dan dengan kegiatan yang berbeda. Apa yang kulakukan ya sebatas berjalan tanpa membawa apapun karena aku bukan berjalan sebagai pemikir. Apa yang kudapatkan? Ya, NIHIL. Seperti berusaha berjalan di permukaan air tetapi akhirnya tak mendapat apa-apa. Ketika diulangi kembali, kemungkinan akan tenggelam itu pasti.
Memiliki kehidupan untuk melawan arus itu sulit. Namun, alasan apa yang tepat untuk mengatakan bahwa hidup melawan arus lebih tepat untuk mengejar jati diri dibandingkan mengikuti arus tetapi sebuah pencitraan?
Rasanya gampang mengatakan hal demikian, tetapi—aku akui—sulit menjalankannya.
–o0o–
Berkunjung ke Kota Tua kali ini sepertinya cocok untuk menemukan cerita baru. Sebuah wawancara mengenai Kota Tua sebagai wadah komunitas menjadi inspirasi menarik untuk berkreasi. Sebuah pameran arsitektur menjadi inspirasi dalam mencari hal-hal unik. Sederhana tetapi keren.
Tak ada yang sama saja jika berjalan sebagai pemikir, bukan hanya mencari kabahagiaan semata. Sebuah perjalanan singkat dengan membuka pancaindra, aku menyebutnya pejalan seorang pemikir.[]Prav
Prajna Vita
Depok, 23 Februari 2017
15.15
*Di sebuah meja kerja saat mendung menggelayuti langit menjelang sore, membuat senja urung muncul dan hujan pun membawa ingatan pada perjalanan singkat penuh cerita kala itu.