“Semakin saya banyak traveling semakin saya tahu bahwa saya hanya tahu sedikit.”
Ini pengalaman saya ketika singgah di rumah teman ketika touring ke Garut September lalu. Tepatnya di Cidaun, Sindang Barang, Cianjur Selatan, Jawa Barat. Menjelajahi daerah-daerah kecil lainnya selain kampung saya sendiri, ternyata banyak kejutan-kejutan yang membuat saya geleng-geleng kepala.
Saya kecil di kampung, di Jakarta baru 5 tahun. Bisa di bilang bahwa saya yo wong ndeso. Lah wong kampung saya juga di Jawa, di Comal, Pemalang. Sedihnya, sebagian besar orang tidak mengenal kampung saya itu.
“Kampung saya di Pemalang.”
“Oh, Malang,”
“Pe-Malang. Jawa Tengah. Kalau Malang, Jawa Timur. Pemalang itu Tegal ke sanaan dikit lah kalau dari sini. Nggak jauh dari Pekalongan deh,” jelas saya sedikit menggunakan nada tinggi.
“Oh iya-iya. Pekalongan Kota Batik ya.” Manggut-manggut sambil antusias berharap dibawain oleh-oleh batik Pekalongan.
Yah, begitulah. Comal atau Pemalang selalu nyaru dengan Malang. Di situ kadang saya merasa sedih. Oklah, kembali ke laptop. Nah, dari kesedihan saya dari ketidaktahuan orang-orang tentang kampung saya itu, saya merasa bahwa saya dulu sudah hidup di daerah yang sangat amat terpencil. Pedalaman lah. Kampung di dalam kampung.—menyedihkan–. Namun, apa yang saya lihat ketika saya berada di kampung orang? Saya lebih beruntung, di kampung saya sudah tidak ada rumah panggung, bahkan rumah dengan dinding anyaman bambu saja sudah tidak ada. Listrik sudah memadai di setiap rumah. Masyarakat sudah jarang menggunakan sumur galian, sebagian besar sudah menggunakan sumur bor.
Ketika di Sindang Barang, Cianjur Selatan, tempat saya singgah saat touring, rumah teman saya itu masih menggunakan rumah panggung. Jujur saja, melihat daerah seperti itu membuat saya antusias karena saya belum pernah merasakan bagaimana tinggal di rumah panggung. Ini pengalaman pertama saya bisa merasakan bagaimana kehidupan di rumah panggung. Rasanya saya seperti singgah di home stay yang berada di dalam objek wisata. Ternyata, masih banyak rumah panggung di sana. Kanan kiri kebun dan memiliki halaman rumah yang luas. Rasanya saya flashback pada masa kecil yang ikutan main bola di halaman rumah.
Rumah panggung merupakan rumah khas penduduk Indonesia. Rumah panggung dulu banyak digunakan oleh masyarakat suku Indonesia yang saya tahu terdapat di daerah Sumatra atau Sulawesi. Ternyata, di Jawa Barat pun masih banyak rumah panggung. Saya merasa bahwa kampung saya sudah kampung sekali, tetapi ternyata masih ada yang lebih kampung lagi. Namun, saya menyukainya karena saya bisa merasakan bagaimana tinggal di rumah panggung.
Bermalam di rumah panggung sungguh luar biasa. Hawa di luar saja sudah dingin, ditambah dengan rumah yang kanan kiri atas bawahnya kayu, bisa dipastikan bahwa hawa dingin itu meresam ke dalam. Saya menyukai dingin so it’s ok and i like it. Saya nyaman-nyaman saja karena inilah pengalaman baru saya.
Tidur di rumah panggung dengan alas saja sudah membuat saya tidur lelap. Bagaimana tidak, lantai rumah yang terbuat dari kayu yang dijajar-jajar tentu memiliki sela-sela. Ketika tidur, angin-angin dingin masuk melalui sela-sela itu dan membuat suhu temperatur tubuh semakin dingin. Silir-silir angin malam itu seperti menggelitiki punggung saya. Beberapa kali membuat pundak saya naik. Selimut yang saya punya bukan untuk selimutan tetapi untuk menutupi bokong. Lah wong dinginnya datang dari bawah. Di sana saya bisa tidur pulas sampai pagi tanpa terbangun.
Selain itu, hati-hati pula ketika singgah di rumah panggung. Simpan barang-barang berharga Anda. Ternyata sela-sela di lantai rumah cukup ‘mematikan’. Dan…, handphone saya menjadi korbannya. Untung handphone saya selalu sepi. Tidak ada pacar yang rewel kalau dibalas lama. Daftar alarm yang saya setel empat kali sudah bunyi semua. Data tidak aktif, memang sengaja saya matikan karena tidak dapat sinyal. Paling adanya peringatan operator tentang sisa pulsa dan harus segera isi ulang tapi tak pernah saya baca.
Ketika itu azan subuh baru saja berhenti. Semua orang di sana masih tertidur lelap. Handphone saya berada di sebelah kiri dan saya terbangun lalu memutar posisi tidur yang tadinya menghadap ke kiri menjadi menghadap ke kanan. Mungkin handphone itu kesenggol pantat saya dan menyusuplah masuk. Saat itu, saya mendengar ibu teman saya sudah bangun, saya pun bangun untuk solat subuh dan hal pertama yang saya lakukan ialah mengecek handphone untuk melihat jam. Dan…, nihil. Saya kehilangan handphone saya. Saya mengangkat selimut, saya berdiri dan masih tidak ada. Saya perhatikan kembali titik tempat saya meletakkan handphone. Ada celah sedikit di sekitaran situ dan bisa dipastikan bahwa handphone saya menyelip ke celah itu dan jatuh ke kolong. Saya cukup panik, bukan takut tidak bisa diambil, tetapi saya panik takut di bawahnya ada genangan air. Saya berpikir sejenak, apakah semalam hujan? Tapi sepertinya tidak. Lalu bagaimana jika di bawah sana ada kaleng atau ember cat atau apa pun yang menyimpan air hujan sisa kemaren? Saya langsung keluar kamar dan, ta daaa, semua orang di rumah ini masih tidur, kecuali ibu teman saya itu dan Beliau masih repot memasak di dapur. Saya menghela napas panjang karena cowok pasti akan bangun siang jadi saya harus sabar menunggu ada orang yang bisa diminta bantuan. Lagi pula, di luar masih sangat gelap dan tidak ada lampu di samping rumah.
Sambil menunggu saya solat subuh dan saya masih belum bisa curhat sama siapa-siapa. Sekitar pukul setengah 6 pagi adik teman saya sudah bangun. Akhirnya, dengan berbekal senter ia masuk ke kolong dan mengambil handphone saya. Untungnya, handphone saya masih baik-baik saja dan tanpa lecet sedikit pun. []Prav