“Filosofi Kopi”
Tiwus Aeropress, Cappucino
Ini bukan “Kali Kedua”nya Raisa, tetapi ini “Kali Kedua”nya aku mengunjungi kedai kopi yang pernah hampir mati. “Filosofi Kopi”. Apa filosofinya tentang cappucino—mungkin aku ingin menemukan diriku di sini–yang aku pesan hari ini? Padahal manual brew dari biji kopi khas kedai kopi yang aku kunjungi biasanya menjadi pilihan utama.
Apakah sebuah perjalanan waktu yang kebetulan mundur? Perjalanan mundur satu tahun lalu dengan nomor belakang tanggal kurangi satu, bulan berlebih dua, tepat satu tahun berlalu, hari, tempat, pesanan kopi, dan waktu yang sama persis. Sebuah kebetulan? Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang kebetulan. Sebuah permainan waktu yang dibuat sendiri? Bahkan aku baru menyadarinya ketika aku meninggalkan tempat itu.
Kalau teringat momen yang dulu pernah ada katanya galau. Kalau teringat waktu yang pernah dilalui di tempat yang sama katanya lebay. Jadi, aku memilih mengunjungi tempat dan waktu yang dulu pernah kusinggahi untuk membuka dunia baru.
Ya. Dulu mungkin aku masih berkelana di dalam dunia komaku. Saat ini atau sekarang aku telah sadar dari koma yang menidurkanku panjang dan menciptakan sendiri dunia yang aku mau. Sekarang tidak lagi. Dunia ‘bangun’ku telah nyata bagaimana aku hidup. Dunia yang tidak ada lagi kebodohan dan dibodohkan, dunia yang tidak ada lagi ketidaksadaran. Dunia yang katanya ‘hitam dan kompleks dan menyesali kesalahan terdahulu dan ingin mendapatkan yang lebih baik sekarang’ sudah tidak ada lagi suaranya. Bahkan tidak ada lagi perkembangan prosesnya–tetapi entahlah karena aku tidak tahu sekarang bagaimana. Semoga ada meski aku tidak melihatnya.
Aku tidak menyalahkan siapa-siapa dan aku juga tidak membenci siapapun. Semua itu menjadi dogma yang mampu mengekskavasikan perasaan dengan sangat hebatnya. Pernah melayang. Tepatnya dibuat melayang perlahan-lahan. Kemudian, dijatuhkan dengan tanpa ada siapapun dan apapun di bawah sana. Berusaha bangun dengan sendirinya lalu menemukan duniaku yang telah hancur berantakan. Tetapi di balik semua itu ada makna yang tidak akan aku hilangkan dan terpakai hingga sekarang sampai selanjutnya.
Aku memperbaiki sedikit demi sedikit. Sendiri. Jika aku menciptakannya saja sendiri, mengapa membangunnya kembali tidak bisa sendiri? Dunia hitam itu kini ingin aku jajaki kembali. Dunia imajinasiku ingin kembali perlahan aku susun skenarionya. Dengan tokoh baru, topik baru, konflik baru, scene baru, dan artistik yang baru.
Satu yang tidak ingin aku ciptakan. Aku tidak ingin menciptakan dunia “Jatuh Cinta” karena jatuh cinta membuatku menjadi bodoh—kasarnya bego–dan berkemungkinan menciptakan ketidaksadaran salah jalur.[]Prav
#Lalu, aku menyadari bahwa meminum kopi dengan susu—cappucino–seperti tidak merasakan ngopi, tapi lah ngopo? 😀
Prajna Vita
Jakarta, 10 Desember 2016
21.05