Aroma Nusantara
Black Coffee Flores, Ice Choco
Kini senja berdamai dengan hujan. Senja mempersilahkan hujan turun lebih cepat dengan waktu yang singkat. Meski begitu, hujan tak pernah protes karena langit t’lah cukup puas menangis.
Aku tidak menemukan kata yang tepat untuk protes terhadap waktu karena dunia mengerti dan memang sudah ditetapkan seperti itu. Langkah berjalan dengan tujuan yang begitu tepat dan terencana. Tak menghiraukan dan bertengkar dengan semesta kalau-kalau hujan turun kembali.
Waktu kami t’lah terbuang begitu lama hanya untuk menunggu. Menunggu hal yang biasanya pasti datang tetapi kali ini tak muncul sama sekali. Memprotes waktu? Kami juga bisa apa karena memang sudah ditentukan begitu. Anggap saja semua itu untuk melatih kesabaran.
Tuhan tidak pernah menetapkan setiap kejadian melenceng dari kehendaknya. Tujuan kami berubah sembilan puluh delapan persen koma sekian dari rencana awal. Mengunjungi lokasi legendaris di Kota Metropolitan hanya sebagai tujuan ‘ya sudahlah’ karena nasib berkata lain.
Melihat lalu-lalang orang membuat kami merasa pusing dan tak bisa diam melamun memandang semesta. Inspirasi tak mampu kutemukan dan membuat imajinasiku nyaris lumpuh. Aku rindu menulis tentang rasaku yang biasanya kuceritakan pada senja di manapun. Kosong, tak ada satu katapun yang mampu menggerakkan imajinasi. Lalu, teringat pada seseorang dari daerah asal yang sama dan menjadi barista di kedai kopi Aroma Nusantara Kota Tua itu.
Langkah kami berhenti di sana menunggu senja mendatangkan malam. Aroma coklat hitam dari kopi Flores membuat rasaku kembali hidup. Aroma itu berhasil meng-ekskavasi-kan rasa yang hampir lumpuh.
Aku mengaguminya. Mengagumi aroma wangi yang lebih banyak disukai orang daripada rasanya. Aku mengagumi genangan air hitam dengan buih kecil yang menempel di bibir cangkir. Tanpa tedeng aling-aling, karakteristik rasa itu mulai terdeteksi dari aromanya. Imajinasiku yang nyaris lumpuh kembali muncul dengan satu perihal tiga kata ‘Senja di Kota Tua’.
Meski tak mempunyai kata yang tepat untuk protes terhadap waktu, tetapi kopi berhasil menemukan kata yang tepat untuk berterimakasih kepada waktu. Tanpa banyak kata dan waktu, senja mendatangkan inspirasi baru untuk siap melangkah dan mencari terminal akhir yang tepat untuk menguburkan semua rasa dalam kata.[]Prav
Prajna Vita
Jakarta, 27 November 2016
22.08