Caringan Tilu, Membuatku Meninggalkan Rasa Itu

Caringin Tilu/Foto: Prajna Vita
Dokumentasi Pribadi

 

KATA orang hidup di kota itu menyenangkan. Kata orang jadi orang kota itu bisa lebih modern. Mereka melihatnya begitu, tetapi saya yang bisa disebut mantan orang kampung justru menempatkan kampung di atas segalanya. Dulu saya mengagum-agumkan manusia-manusia kota yang bisa hidup lebih layak dan modern. Ketika saya sudah bisa disebut sebagai orang kota, ternyata saya juga merindukan kampung halaman saya.

Perjalanan demi perjalanan yang sudah saya lalui sampai sekarang membawa banyak pandangan baru. Awal kali saya melakukan perjalanan seorang diri ialah ketika saya mencari pendidikan ke ibu kota. Bolak-balik beberapa kali dan perjalanan malam yang selalu saya pilih. Lalu saya pun mencintai perjalanan malam. Menyenangkan, indah, dan penuh kenangan. Imajinasi saya bisa tertumpah ruah ketika kerlip lampu ramaikan malam.

Perjalanan kedua saya yaitu mengunjungi kota Jogja. Kota yang diidam-idamkan banyak orang-orang kota. Aku menemukan pengalaman perjalanan baru yang mampu membuka mata hati. Perjalanan ketiga saya inilah yang membuat hasrat traveling muncul kembali.

Kota Bandung. Kota dengan julukan Paris Van Java ini membawa saya menyelusuri dataran tinggi Lembang. Dataran tinggi di Kota Bandung tersebut menjadi pilihan utama untuk menikmati bentangan alam. Menikmati background hijau yang ditutupi oleh kabut.

Dokumentasi Pribadi

 

“Caringin Tilu, Membuatku meninggalkan rasa itu”

Caringin Tilu. Sebuah lokasi di Bandung yang banyak dikunjungi wisatawan, awalnya saya kira objek wisata di perbukitan. Perjalanan yang memunculkan adrenalin sama sekali tidak membuat saya tidak berani mengulanginya lagi. Ketika pandangan mata lebih banyak tertuju pada sumpeknya perkotaan. Kini, saya menikmati bentangan bukit ketika menuju ke Cartil atau Caringan Tilu. Ketika itu saya menyadari bahwa saya norak.

Wow, it’s amazing. Mungin seperti itulah ekspresinya. Perbukitan yang mampu saya lihat sepanjang jalan setelah memasuki jalan berkelor dan menanjak. Ketika di kampung saya sering trip ke daerah pegunungan, tetapi ketika keadaan kota membawa saya kembali dan enam bulan dihadapkan lagi dengan bentangan alam. Saya mengaku bahwa saya norak 😀

Ketika kaki sudah menghentikan saya di sana, saya bingung dengan tanggapan penjaga pintu masuk yang langsung menyilakan kami—karena saya traveling bersama dua orang teman dan satu guide—masuk. Guide yang membawa saya sampai ke sana tidak menjelaskan apa itu Cartil dan bodohnya saya, saya tidak membaca informasi apa pun mengenai lokasi itu.

Saya dibawa ke saung-saung setelah itu memesan makanan. Ternyata tempat makan to…..

Ada untungnya juga datang pada pagi hari dan masih belum ada pengunjung yang makan di Cartil. Saya bebas mengambil gambar dan foto-foto dengan beragam gaya.

Mengagumkan. Saya bisa makan sambil melihat kota Bandung dari atas. Kalau malam hari, pemandangannya lebih menakjubkan. Tapi tak masalah, suasana seperti itu pun sudah membuat saya senang karena alam mampu meninggalkan segala rasa. Hanya rasa mencintai Tuhan yang bisa saya katakan. Keindahan alam dari sebuah kota kembang dan dengan perjalanan yang bisa dibilang menuju ekstrim sudah membuat saya terkagum-kagum. Bagaimana jika saya benar-benar naik gunung dan menemukan sunrise atau sunset. I will Thanks a lot of to God. Thanks, thanks, thanks.

“Sayangnya senja belum dapat aku temukan di Kota Bandung yang mengingatkanku pada kenangan yang kompleks.”[]Prav

 

 

Prajna Vita

Jakarta, 16 Maret 2017

20.06

*Foto diambil di Caringin Tilu, Bandung saat traveling

Leave a Reply

Your email address will not be published.